Bedah Buku: Di Balik Antologi Puisi "Air Mata Topeng"

September 11, 2019


Irawan Sandhya Wiraatmaja (kiri) bersama Maman S. Mahayana (kanan) dalam acara bedah buku Antologi Puisi “Air Mata Topeng” pada Rabu (28/02) di Warung Apresiasi Seni, Bulungan, Jakarta Selatan.


Penyair Irawan Sandhya Wiraatmaja yang memiliki nama asli Mustari Irawan, Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia hadir dalam acara bedah buku karyanya, Antologi Puisi “Air Mata Topeng”, pada Rabu malam (28/2) di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan. Bedah buku dibahas oleh kritikus sastra Maman S. Mahayana, yang juga seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Mencintai dunia sastra sejak tahun 70-an membuat karyanya terbit di berbagai media dan meraih banyak prestasi dalam dunia sastra. Sebut saja Majalah Zaman, Majalah Horizon, Koran Merdeka, Koran Pelita dan lainnya. Air Mata Topeng merupakan antologi puisi atau kumpulan puisi pilihan yang dijadikan dalam satu buku. Terdiri dari 102 puisi yang ditulis sejak Oktober 2016 – April 2017.

Menurut Maman selaku pembahas, buku kelima Irawan berjudul “Air Mata Topeng” ini adalah paradoks. Dimana kata topeng pada judul, diibaratkan suatu benda untuk menyelimuti wajah, menutupi perasaan dan menutupi kepalsuan. Buku antologi puisi karya Irawan tersebut menunjukkan metafora yang dianggap sebagai orang munafik karena banyaknya pesan tersirat mengenai kritik sosial di dalamnya.

“Membaca puisi Irawan itu semacam puisi naratif dengan banyak simbolisasi. Nikmati saja. Tidak harus dimengerti. Karena melalui puisinya, Irawan mengajak untuk mengolah pikiran kita. Ia sengaja membuat metafora berbeda dari buku sebelumnya dengan judul “Giang” yang sukses meraih anugerah Hari Puisi,” jelasnya.

Hal ini dibenarkan Irawan, bahwa Giang dengan Air Mata Topeng adalah imajinasi yang loncat, karena belum selesai satu bait, sudah berubah lagi. Irawan mencoba mencari bahasa yang sedikit kejam. Maksudnya disini adalah mengajak pembaca untuk masuk pada metafora atau simbol yang Irawan tulis.

Dalam pandangannya, puisi yang penuh dengan kritik sosial sangat mudah dipahami. Oleh sebab itu, Irawan menuliskan puisi – puisi dalam buku yang berbeda dari sebelumnya karena ingin mengkombinasikan kritik dan unsur religius. Beberapa di antaranya membahas tentang politikus, hukum, partai politik serta hubungan antara manusia dengan Tuhan.

“Pada dasarnya, Air Mata Topeng adalah sebuah refleksi dari fungsi sosial dimana kita hidup pada kondisi yang manusianya hipokrit. Saya tidak akan mengatakan munafik seperti yang Bang Maman bilang, tetapi lebih ke hipokrit. Dimana seakan – seakan seseorang itu memperjuangkan orang lain. Namun, sebetulnya tidak,” ujar Irawan di atas panggung.

Selain bedah buku, ada juga sesi tanya jawab bersama para pengunjung yang hadir. Acara ditutup dengan kuis berhadiah lima buku karya Irawan Sandhya Wiraatmaja, serta penampilan musikalisasi puisi dari kelompok musik Doddy Odoy.

You Might Also Like

0 komentar